Ni-hao! Beberapa hari yang lalu saya mengikuti konferensi internasional
mengenai pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) di
Beijing China. Sejak awal saya tidak kuatir mengenai komunikasi, meskipun saya tidak
bisa berbahasa Mandarin. Toh konferensi itu dihadiri oleh kalangan
internasional dan bahasa inggris dipilih sebagai bahasa resmi di konferensi
itu. Saya yakin, dengan pengalaman berbahasa inggris selama ini, saya akan
survive. Selain itu, saya akan ke Beijing. Beijing yang saya bayangkan adalah
kota besar dan orang-orangnya bertaraf internasional –yah paling tidak bisa
bahasa inggris sedikit-sedikit. Setidaknya beberapa teman mengatakan hal ini
sebelum keberangkatan.
Benar, saya survive selama presentasi dan mengikuti
kegiatan-kegiatan di konferensi, termasuk ketika coffee break, lunch atau
dinner. Tapi masalah itu mulai terasa ketika saya harus berkomunikasi dengan
sopir taxi, pegawai hotel, pelayan toko atau restoran yang merupakan native
chinese dan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali kecuali thank you, okay
dan sorry. Saya juga menemui masalah komunikasi dengan beberapa mahasiswa yang
terlibat sebagai panitia konferensi. Meskipun mahasiswa ini berbahasa inggris,
tapi seperti saya, pengucapan bahasa inggrisnya diwarnai dengan dialek bahasa
pertama. Sehinga kami sama-sama bingung.
Dari ide seorang sahabat, mbak Dyah, saya mempersiapkan
kartu-kartu bertuliskan percakapan sehari-hari bahasa inggris dan mandarin,
berikut pinyin-nya. Seorang teman peneliti dari China membantu membuat
translasinya. Bodohnya saya, sesampai di Beijing dan ketika harus berkomunikasi
dengan mereka, saya lupa kalau punya kartu ini. Saya hanya bilang: “mm.. speak english,
speak english?” dan untungnya merenka ngerti kemudian memanggil temannya yang
ngerti bahasa inggris.
Kemudian ketika saya keluar hotel, eh… kartunya ketinggalan.
Bismillah, begitu ucap saya dalam hati. Satu saat, saya ingin berfoto di depan
sebuah patung. Sudah coba berkali-kali foto sendiri, hasilnya kurang memuaskan.
Ada seorang perempuan muda melewati saya dengan headphone di telinganya sambil
memainkan iphone-nya. Saya bilang, “excuse me, could you please take a photo for
me.” Dia hanya melongo, saya sekali lagi bilang “mmm…. Photo, photo” sambil
menunjuk jari ke wajah saya dan camera di iphone saya. Eh dianya malah
ngacir sampil melambaikan tangannya seperti mengatakan tidak. Mungkin dia pikir
saya mau mengajak dia photo.
Ketika berbincang dengan seorang mahasiswa atau dosen (bertitel
doktor) yang kental sekali Chinglish-nya, saya diminta menuliskan apa yang saya
maksud di selembar kertas. Hingga akhirnya paham yang saya maksud dan kami pun
sama-sama tersenyum. Kemudian saya beberapa kali menggunakan teknik ini untuk berkomunikasi jika mereka tidak paham atau saya tidak paham yang kami maksud.
Akhirnya, saya mendapatkan sebuah ide brilian dari penjaga
toko souvenir di hotel tempat saya tinggal. Waktu itu saya menanyakan harga
sebuah porceline khas China, white and blue. Naluri tawar menawar saya muncul,
tapi saya tidak tahu menyampaikannya. Si penjaga toko juga merasa ingin
meyakinkan saya tapi tidak tahu menyampaikannya. Tiba-tiba dia membuka Google
Chrome di PC nya, mengetikkan sesuatu di Google translate dan memperlihatkannya
kepada saya. Miracle! Kami pun tawar menawar harga melalui media itu, tak lupa
memakai jurus melas sebagai seorang mahasiswa yang jobless. Selain itu, saya juga mendapatkan penjelasan mengenai makna warna, bunga dan tulisan fu di blue and white ceramics khas yang dia pajang.
Saya baru ingat, bukankah saya bisa akses Google translate di iphone. Kenapa dari awal saya tidak menginstal kamus English – Chinese di iphone juga,
bukankah akan lebih mudah. Yah demikianlah… tak perlu disesali. Saya berhak
belajar dari siapa saja dan itulah kenikmatan memahami keterbatasan. Semenjak
itu, saya menggunakan Google translate untuk berkomunikasi dan mengekspresikan
diri saya. Dengan sopir taxi, saya ketik dulu saya mau apa kemudian tinggal
klik, google akan mengucapkannya kepada dia atau saya coba membacanya. Masih
ingat betul saya ketika saya mengatakan “very big” dalam bahasa china “Fēicháng
dà” dengan aksen Indonesia saya menjadi “fii-cang da”. Sopir taxi yang menemani
saya membetulkan cara membaca saya yang salah, harusnya “fi-tjang da” dan
berulang ulang dia melafalkan “da” sampai saya bisa melafalkannya seperti “da”
dengan lafal “d” yang berat seperti “dal” dalam bahasa arab.
Saya selalu tersenyum jika ingat berbagai kejadian lucu terkait bahasa ini. Saya bersyukur saya masih seperti dulu, memahami keterbatasan, selalu ingin belajar dan tidak putus asa. Anyway, xiè xiè Google
translate. :-)
Catatan: Běijīng zhī xíng : The trip to Beijing: Perjalanan ke Beijing