26 December 2012

Haruskah memilih-milih kebaikan

Salah satu kelemahan saya adalah tidak memilih-milih kepada siapa saya berbuat baik. Siapa saja, selagi saya bisa, saya bantu. Sulit sekali mengatakan tidak. Saya tidak mengenal apakah itu teman, pengkhianat, bos, bawahan, musuh atau orang tidak saya kenal. Saya kerjakan yang terbaik untuk mereka, tidak pandang bulu, ikhlas.
Belakangan ini, dua orang terdekat saya mengatakan dengan terang-terangan dan berkali-kali bahwa saya ini bodoh dan merugi karena hal tersebut. Saya akui sering mengalami kesulitan dan hanya diri sendiri yang datang membantu. Hal ini membuat saya berfikir, apakah harus memilih untuk berbuat baik.
Selain itu,apa yang saya kerjakan seringkali tidak sepadan apa yang saya terima. Sedemikian, kata mereka, saya ini mudah dimanfaatkan. Kata mereka lagi, saya harus belajar untuk mengerjakan sebanyak yang akan saya terima saja. Jangan mempermudah orang lain, work share means sharing the work. You have done yours, that's it. Leave the others.
Namun, kenapa ya saya sulit sekali mencerna apa yang mereka katakan. Memang benar, sudah banyak buktinya. Misalnya ketika saya membantu si A, saya tidak pernah mendapat balasan apa pun dari si A. Ketika saya membantu menyelesaikan pekerjaan si B, saya tidak pernah mendapat balasan dari si B. Tapi, bukankah tanpa si A dan si B, Tuhan telah memberi berbagai keajaiban yang saya butuhkan. Saya bisa melakukan banyak hal lain tanpa bantuan dari seorang pun kecuali tangan Tuhan langsung. Misalnya, ketika saya kesepian, tiba-tiba ada seseorang datang menghampiri mengajak ngopi. Ketika saya kelelahan, tiba-tiba mendapat berita bagus dari keluarga. Tiba-tiba mendapat hadiah dari seseorang. Dan masih banyak yang lainnya.
Saya bodoh, merugi atau dimanfaatkan, terserah. I just do it. Do not need to weigh what I do. Too complicated, just do it the best.

14 December 2012

Masih adakah nasionalisme


Perbincangan sebelum tidur dengan suami memang sesuatu banget. Kadang kita berbicara hal yang sudah dibicarakan lagi dan lagi, kadang-kadang kita berbicara yang kita sendiri pun tidak tahu banyak. Beberapa malam lalu kita berbicara tentang nasionalisme. Perbincangan mengenai nasionalisme bukanlah hal yang baru. Tapi perbincangan malam itu berbeda dan berakhir dengan perasaan saya yang gamang. 

Mulanya kita berdiskusi ringan tentang pembicaraan Gubernur Jakarta dan wakilnya di media-media masa. Suami saya terus terang meragukan kemampuan mereka merubah Jakarta. Dia mengacungi jempol program kartu sehat dan kartu pintar mereka –yang seharusnya adalah program nasional. Namun apakah benar apa yang mereka lakukan tulus untuk negara, bukan untuk anak, cucu, keponakan dan kepentingannya nanti setelah mereka tidak menjabat lagi. Lihat saja nanti. 

Di negara ini masih ada budaya malu, malu jika bapaknya pejabat, anaknya cuma jualan roti di toko; malu jika pakdenya kaya, keponakannya tidak masuk sekolah unggulan, malu jika turun status sosialnya. Lihat saja presiden, pemimpin parpol, anggota DPR dan yang kecil-kecil di kampus, kantor-kantor pemerintahan. Saya diingatkan, berapa kali saya didatangi kerabat, temannya kerabat atau tetangga yang mau nitip anaknya. Tidak jauh-jauh, keluarga kita menyaksikan sendiri bagaimana proses pencalonan bupati. Berapa uang yang diinvestasikan. Bagaimana usaha yang dilakukan untuk mengambil keuntungan dari jabatan itu, meskipun secara halus. Bagaimana mereka yang merasa kenal berusaha menitipkan anaknya, keponakannya, sodaranya... seperti ini terjadi di daerah sampai di pusat. *menelan ludah*

Mulai dari lingkungan keluarga, bagaimana budaya orang tua sekarang ini dalam membesarkan anaknya. Lihatlah bagaimana sistem pendidikan dibuat berkasta, secara tidak langsung mengajarkan anak perbedaan status sosial. Bagaimana tidak orang-orang kita mementingkan materi dan penampakan sosial? Lihatlah gaya orang-orang di facebook. Hak milik saya dalah hak milik saya, tidak ada gunanya berkorban untuk negara –atau yang ada pemimpin negara mengorbankan rakyatnya. Kemudian, suami saya pun terus terang meragukan perubahan Indonesia secara lebih luas. Indonesia tidak lagi milik nasional. Terlalu banyak kepentingan internasional yang membuat Indonesia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya sendiri. Meskipun hati ini ingin berbuat kebaikan untuk bangsa, tapi tangan dan kaki sudah tidak bisa digerakkan sesuai hati. Kenapa? Karena tangan dan kaki itu sudah dimiliki orang lain. 

Jika ada yang berteriak-teriak nasionalisme, ah… coba beri dia jabatan, nanti dia diam. Lanjutnya, apa yang terjadi di Aceh setelah gubernurnya dari GAM? Kaum intelektual, ah… apalagi. Lihatlah Andi Malarangeng. Orang-orang pintar kita... Lihatlah kualitas para penerima beasiswa dikti. Diragukan… Semuanya mementingkan dirinya sendiri. Tidak ada yang namanya nasionalisme. Saya memang hanya bisa melihat dan diam. Tidak ikut pemilu, tidak juga ikut demo. Bukan berarti saya tidak merasa sedih ketika Timor Timur lepas dari NKRI atau jika Papua ingin melepaskan diri, begitu katanya dengan nada rendah seperti mengakhiri curahan pemikirannya.
 
Panjang lebar dia berbicara. Sementara saya tetap optimis meskipun agak tersinggung juga karena saya juga penerima beasiswa dikti yang dia sebutkan. Perubahan tentu saja tidak seketika menghasilkan, perlu waktu. Dari lingkup yang terdekat ke lingkup yang lebih luas. Itu pun dimulai dari diri sendiri. Berbuat kebaikan dari diri sendiri, dari lingkungan pekerjaan. Dia membenarkan apa yang saya katakan. Memang hanya itu yang saat ini bisa dilakukan di negara kita, berusaha berbuat baik dan beribadah. Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan hidup di negara kita selain beribadah, agar tidak stress, tertekan dengan keadaan di sekitar hidup. Saya ingin protes bahwa tidak benar begitu. Okelah, ada benarnya, tapi tidak semuanya… tapi, tapi saya tidak bisa lagi berkata-kata.

30 November 2012

Běijīng zhī xíng


Ni-hao! Beberapa hari yang lalu saya mengikuti konferensi internasional mengenai pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) di Beijing China. Sejak awal saya tidak kuatir mengenai komunikasi, meskipun saya tidak bisa berbahasa Mandarin. Toh konferensi itu dihadiri oleh kalangan internasional dan bahasa inggris dipilih sebagai bahasa resmi di konferensi itu. Saya yakin, dengan pengalaman berbahasa inggris selama ini, saya akan survive. Selain itu, saya akan ke Beijing. Beijing yang saya bayangkan adalah kota besar dan orang-orangnya bertaraf internasional –yah paling tidak bisa bahasa inggris sedikit-sedikit. Setidaknya beberapa teman mengatakan hal ini sebelum keberangkatan.

Benar, saya survive selama presentasi dan mengikuti kegiatan-kegiatan di konferensi, termasuk ketika coffee break, lunch atau dinner. Tapi masalah itu mulai terasa ketika saya harus berkomunikasi dengan sopir taxi, pegawai hotel, pelayan toko atau restoran yang merupakan native chinese dan tidak bisa berbahasa inggris sama sekali kecuali thank you, okay dan sorry. Saya juga menemui masalah komunikasi dengan beberapa mahasiswa yang terlibat sebagai panitia konferensi. Meskipun mahasiswa ini berbahasa inggris, tapi seperti saya, pengucapan bahasa inggrisnya diwarnai dengan dialek bahasa pertama. Sehinga kami sama-sama bingung.

Dari ide seorang sahabat, mbak Dyah, saya mempersiapkan kartu-kartu bertuliskan percakapan sehari-hari bahasa inggris dan mandarin, berikut pinyin-nya. Seorang teman peneliti dari China membantu membuat translasinya. Bodohnya saya, sesampai di Beijing dan ketika harus berkomunikasi dengan mereka, saya lupa kalau punya kartu ini. Saya hanya bilang: “mm.. speak english, speak english?” dan untungnya merenka ngerti kemudian memanggil temannya yang ngerti bahasa inggris.

Kemudian ketika saya keluar hotel, eh… kartunya ketinggalan. Bismillah, begitu ucap saya dalam hati. Satu saat, saya ingin berfoto di depan sebuah patung. Sudah coba berkali-kali foto sendiri, hasilnya kurang memuaskan. Ada seorang perempuan muda melewati saya dengan headphone di telinganya sambil memainkan iphone-nya. Saya bilang, “excuse me, could you please take a photo for me.” Dia hanya melongo, saya sekali lagi bilang “mmm…. Photo, photo” sambil menunjuk jari ke wajah saya dan camera di  iphone saya. Eh dianya malah ngacir sampil melambaikan tangannya seperti mengatakan tidak. Mungkin dia pikir saya mau mengajak dia photo. 

Ketika berbincang dengan seorang mahasiswa atau dosen (bertitel doktor) yang kental sekali Chinglish-nya, saya diminta menuliskan apa yang saya maksud di selembar kertas. Hingga akhirnya paham yang saya maksud dan kami pun sama-sama tersenyum. Kemudian saya beberapa kali menggunakan teknik ini untuk berkomunikasi jika mereka tidak paham atau saya tidak paham yang kami maksud.

Akhirnya, saya mendapatkan sebuah ide brilian dari penjaga toko souvenir di hotel tempat saya tinggal. Waktu itu saya menanyakan harga sebuah porceline khas China, white and blue. Naluri tawar menawar saya muncul, tapi saya tidak tahu menyampaikannya. Si penjaga toko juga merasa ingin meyakinkan saya tapi tidak tahu menyampaikannya. Tiba-tiba dia membuka Google Chrome di PC nya, mengetikkan sesuatu di Google translate dan memperlihatkannya kepada saya. Miracle! Kami pun tawar menawar harga melalui media itu, tak lupa memakai jurus melas sebagai seorang mahasiswa yang jobless. Selain itu, saya juga mendapatkan penjelasan mengenai makna warna, bunga dan tulisan fu di blue and white ceramics khas yang dia pajang.

Saya baru ingat, bukankah saya bisa akses Google translate di iphone. Kenapa dari awal saya tidak menginstal kamus English – Chinese di iphone juga, bukankah akan lebih mudah. Yah demikianlah… tak perlu disesali. Saya berhak belajar dari siapa saja dan itulah kenikmatan memahami keterbatasan. Semenjak itu, saya menggunakan Google translate untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri saya. Dengan sopir taxi, saya ketik dulu saya mau apa kemudian tinggal klik, google akan mengucapkannya kepada dia atau saya coba membacanya. Masih ingat betul saya ketika saya mengatakan “very big” dalam bahasa china “Fēicháng dà” dengan aksen Indonesia saya menjadi “fii-cang da”. Sopir taxi yang menemani saya membetulkan cara membaca saya yang salah, harusnya “fi-tjang da” dan berulang ulang dia melafalkan “da” sampai saya bisa melafalkannya seperti “da” dengan lafal “d” yang berat seperti “dal” dalam bahasa arab. 

Saya selalu tersenyum jika ingat berbagai kejadian lucu terkait bahasa ini. Saya bersyukur saya masih seperti dulu, memahami keterbatasan, selalu ingin belajar dan tidak putus asa. Anyway, xiè xiè Google translate. :-)

Catatan: Běijīng zhī xíng : The trip to Beijing: Perjalanan ke Beijing

09 October 2012

Suami-suami yang tersenyum geli


Sambil minta kelon, Firna curhat kepada suaminya. Dia melepaskan keluh kesah, capek dan stress yang dirasakannya. Firna berkata, “say, seandainya aku bisa seperti Dea. Hidupnya enak ya... Tiap hari cuma ngantar anak sekolah, itu pun kadang suaminya yang ngantar. Terus masak, bentar-bentar ngurus taman, main game online, facebookan, instagraman, nge-date, jalan-jalan ke sini ke sana. Terus sama ibu-ibu ngumpul bikin kue bareng, jogging, latihan make-up, pengajian atau duduk-duduk di cafe. Ga perlu mikirin kerjaan, ga punya deadline yang bikin stress, ga ngurusi orang-orang yang bikin sebel di kerjaan, ga perlu jalan buru-buru ke sini, ke sana. Ga perlu pulang kerja ga bisa langsung istirahat. Bisa spa, medicure pedicure setiap saat... Enak ya....” Kemudian Firna menghela nafas dalam. Memang, dalam pandangan Firna, Dea adalah sosok yang bisa menikmati hidup dengan nikmatnya nikmat. 
                                                                                
Dengan santai, suami Firna menjawab, “bener say, kamu mau berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga saja? Cuma di rumah tok seperti Dea? Tidak peduli tentang isu-isu di negara kita? Ga pengen lagi penelitian? Ga pengen lagi membuat teori? Ga pengen lagi jadi guru? Ga pengen lagi ngajar? Ga pengen lagi punya uang tabungan sendiri? Ga pengen lagi jadi barista? Ga pengen punya tabungan sendiri? Ga pengen lagi bisa ngasih uang ke orang tua dan menyumbang ke panti? Ga pengen lagi bebas belanja? Ya gapapa sih, terus kamu mau ngapain di rumah?” Anehnya, Firna tidak bisa langsung menjawab pertanyaan suaminya. Dalam hati, justru dia cenderung menjawab tidak atau tidak tahu. Meskipun protes, Firna tidak mau begitu saja melepaskan aktivitas yang telah dia jalani selama ini. Malahan, Firna berbalik mengatakan bahwa meskipun ibu rumah tangga dan berkarir yang melelahkan, namun banyak juga kok hal positif yang bisa dia hasilkan. Satu per satu Firna menyebutkannya. Suaminya tersenyum geli.

Di lain rumah, Dea sedang protes kepada suaminya. Katanya dia bosen dan stress di rumah. Aktivitas yang dia jalani seperti palsu dan tidak penting. Cuma ngafe, pengajian, nge-gym, masak bareng, facebookan, dan gak penting lainnya. Dia pengen punya karir seperti Firna. Lanjut lagi, dia menjelaskan ke suaminya bahwa dia mempunyai aspirasi untuk berkontribusi ke kemajuan bangsa... tidak sekedar sebagai orang penting di keluarganya saja. Dea memberi contoh Firna kepada suaminya. Memang, dalam pandangan Dea adalah wanita yang sempurna. Mempunyai karir, bisa mengasuh keluarga dan disayang suami dan keluarga. Dea mengatakan betapa hebatnya Firna dan menghela nafas dalam mengakhiri protesnya. 

Dengan santai, suami Dea menjawab, “Benar kamu mau mencari pekerjaan? Kamu sudah siap, pagi jam 7 sudah siap, sore jam 6 baru sampai rumah, mesti lari ke sini ke sana ngantar jemput anak sekolah? masih ngurusi masak dan keperluan rumah? Kamu mungkin ga punya waktu lagi untuk nge-gym 3x seminggu? Mungkin jarang-jarang bisa liburan? Masih ingat dulu betapa stressnya kamu ngurusi kantor dengan segala isunya? Sudah siap? Ya gapapa kalau kamu mau menanggung semua konsekuensi karir, menjadi ibu dan istri". Anehnya, Dea tidak bisa langsung menjawab pertanyaan suaminya. Dalam hati, justru dia cenderung menjawab tidak atau tidak tahu. Meskipun protes, Dea tidak mau begitu saja melepaskan aktivitas yang telah dia jalani selama ini. Malahan, Dea berbalik mengatakan bahwa meskipun ibu rumah tangga dan aktivitasnya serasa ga penting, namun banyak juga kok hal positif yang bisa dia kerjakan. Satu per satu Dea menyebutkannya. Suaminya pun tersenyum geli.

03 October 2012

Alma dan Brian: Disiplin


Pagi itu, Alma tergopoh-gopoh berangkat bekerja. Meskipun hanya bekerja sebagai penjaga toko, dia sangat disiplin. Seringkali rela merogoh kantongnya yang tipis untuk naik taksi menuju tempat kerjanya supaya tidak terlambat. Pagi itu, dia harus menyamankan hati anaknya dan butuh waktu agak lama rupanya sampai anaknya diam dan merelakannya pergi bekerja. Makanya dia ketinggalan bis dan sekali lagi, dia memilih untuk naik taksi ketimbang menunggu kedatangan bis berikutnya. 

Meskipun terlambat bisa dimaklumi, namun Alma tak mau begitu. Dia selalu berusaha. Katanya, dia merasa tidak nyaman ketika harus membuat penjaga toko sebelum dia menunggu kedatangannya dengan resah. Katanya lagi, dia tidak mau merugikan bosnya. Padahal bosnya tidak begitu peduli dengan kesejahteraannya. 

Siangnya, Brian dengan santainya memasuki toko. Brian adalah penjaga toko, teman Alma. Meskipun terlambat datang, belum memakai seragam toko, masih menenteng tas, dia langsung mengambil kartu absen. Yang penting log-on dulu katanya. Bukannya buru-buru ganti baju, dia malah menengok ke sana dan kemari. Alma menyapanya, how are you Brian? Dengan santainya, dia menjawab, I am tired and hungry. Rupanya dia mencari-cari apa yang bisa dimakan di toko sebelum dia mulai bekerja. Alma hanya bisa menatapnya dengan senyuman simpul dan berusaha memakluminya. 

Alma bukannya bodoh. Dia hanya mencari waktu yang tepat untuk memberi saran perbaikan untuk Brian. Selain itu, dia paham prosedur kemana dan bagaimana mengajukan komplen. Karena keterlambatan Brian, Alma tidak bisa pulang kerja tepat waktu. Padahal di toko itu tidak ada gaji overtime. Selain itu, anaknya menunggu di rumah dengan tidak sabar. Kepada saya Alma mengatakan bahwa dunia ini hanya fana, tidak perlu membalas air tuba dengan air nila. Apalah artinya semua ini selain beribadah kepada Tuhan. Menjalankan pekerjaan sesuai prosedur adalah salah satu bentuk ibadah kepada-Nya. Selain melatih diri sendiri menjadi orang yang disiplin dalam segala hal. Jika dalam hal kecil saja tidak bisa disiplin, apalagi hal yang besar. Saya terdiam mendengar penjelasan Alma dan membenarkannya.

20 September 2012

Belajar dan Bekerja


Ini tulisan versi saya, karena saya tahu di sana-sana pasti banyak yang menulis tentang belajar dan bekerja. Saya sudah bertahun-tahun kuliah dan juga bekerja. Pada masa kuliah S1 dulu, saya bekerja sebagai tutor atau guru les. Murid saya hanya beberapa (6 atau 7 anak, lupa) tapi saya mengajar mereka sampai tahunan. Selain itu saya pernah bekerja di laboratorium komputer dan jualan kebaya. Jualan kebaya dari teman ke teman, semacam bisnis pribadi. Saya sendiri bos sekaligus salesnya. Mungkin tidak banyak yang percaya saya pernah menjadi sales :)
copas photo by googling

Pada masa S2, saya pernah bekerja sebagai customer service atau pelayan. Jangan dibayangkan pekerjaan ini cuma duduk di belakang konter untuk menerima konsumen, tapi juga ngurus order, stocktake, menerima komplen dan bersih-bersih workshop. Selain itu pernah menjadi team member di supermarket yang kerjaannya ngurusi display barang-barang jualannya. Pernah juga kerja jadi tutor, pencatat perkuliahan dan tukang foto kopi di kampus. Sewaktu S3 saya pernah bekerja sebagai pelayan toko cepat saji kemudian naik jabatan menjadi supervisor, barista (penyaji kopi), tutor, pengawas ujian di kampus, tukang administrasi dan juga konsultan membuat soal-soal matematika untuk international competition.

Dari sebanyak pekerjaan yang saya jalani, saya masih menerima predikat cum-laude ketika menyelesaikan S1, sekolah S2 dan S3 di luar negeri dengan beasiswa dan alhamdulillah semuanya dengan hasil yang memuaskan, termasuk selesai on-schedule dan publikasi. Yah, gak jelek-jelek amat kan :)

Mempunyai pekerjaan selagi masa kuliah tidaklah berita baru. Saya tidak menyebut berkerja selagi kuliah adalah pekerjaan sampingan, karena jika menjalani keduanya sebaiknya serius supaya hasilnya optimal. Sebutan sampingan memang kedengaran agak menyepelekan status, bagi saya. Jika pekerjaannya tidak fulltime (8 jam sehari, 5 hari seminggu) saya lebih cenderung menyebutnya pekerjaan paruh waktu atau parttime.

Bekerja memberikan beberapa manfaat. Yang jelas tentu saja manfaatnya adalah memberikan pendapatan berupa uang. Uang bisa untuk apa saja seperti membeli buku kuliah, melengkapi sumber belajar, rekreasi, donasi atau tabungan. Tambahan pendapatan ini dapat secara langsung bermanfaat untuk kemajuan kuliah dan tentu saja kenikmatan tersendiri ketika bisa merasa financially free selama berbelanja.

Selain itu, dengan bekerja kita bisa mengembangkan banyak keterampilan. Jenis keterampilannya tentu saja sesuai tempat kerja dan sejauh mana kita serius memanfaatkan waktu bekerja untuk mengasah keterampilan. Selama saya bekerja, saya mengamati ada beberapa teman kerja yang berkerja sekedar mendapatkan uang. Pokoknya sudah menghabiskan waktu untuk kerja dan kerja sekedarnya. Kalau saya employer, saya tidak puas dan tidak suka dengan pekerja yang seperti ini. Dan menurut saya, percuma membuang waktu capek-capek hanya untuk uang.

Padahal jika kita bekerja dengan tekun, selain bos senang, kita secara tidak langsung mengasah keterampilan. Contohnya, bekerja sebagai pelayan di restaurant cepat saji. Sebagai pelayan resto di luar negeri, secara gratis kita mengasah kemampuan komunikasi dalam bahasa inggris dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya dalam konteks nyata. Sebagai pelayan, kita diminta untuk membuat konsumen merasa nyaman sekaligus up-sell sebanyak-banyaknya. Selama melakukan ini, kita bisa berlatih berbicara efektif dan memikat. Bisa juga melatih kesabaran dan berbicara logis, ketika ada konsumen sekonyong-konyong marah-marah dan komplain. Keterampilan mengorganisasikan produk, penjualan dan mempertahankan/meningkatkan profit juga bermanfaat. Ada juga ilmu mengenai makanan cepat saji (Food Handling and Safety), barista (seni menyajikan kopi), dan keselamatan di tempat kerja (Occupational and Health Safety) yang bisa diperoleh.

Namun, di tempat kerja juga bisa memberikan stress tersendiri. Kadang ada tekanan, kritik atau perubahan-perubahan di tempat kerja yang perlu kita adaptasi. Bisa juga terjadi harassment, bullying, dsb di tempat kerja yang bisa mempengaruhi mood setelah bekarja, yang secara langsung atau tidak mempengaruhi kuliah atau keluarga. Bagi saya, ini adalah latihan memanajemen stress. Dalam hidup saya, down side selalu ada dan hanya bisa diatasi. Hanya ada beberapa yang bisa dihindari. Saya mencoba menghindarinya, tapi kadang kita harus bersinggungan dengan orang-orang yang tidak bisa kita kontrol dan membuat hal-hal negatif. Mau tidak mau, keterampilan memahami dan mengatasinya yang perlu diasah. Perlu tahu prosedurnya jika harassment terjadi, perlu memahami diri sendiri bagaimana mengatasi mood yang terlalu (terlalu senang/sedih). Perlu juga memahami bagaimana menikmati masa-masa sedih. Saya yakin, tidak semua orang selalu happy dan selamanya happy. Tentu saja tidak mudah. Tapi kalau bisa melakukannya, ini adalah nilai lebih.

Ada satu lagi, yaitu kemampuan mengatur waktu, termasuk mengatur waktu tidur dan liburan. Selama bekerja dan juga kuliah, waktu tidur dan liburan menjadi terbatas. Padahal kita semua wajib untuk tidur dan liburan untuk memenuhi kesejahteraan biologis. Memaksimalkan yang terbatas perlu latihan tentunya, perlu ilmu. Ilmu itu bisa dipelajari.

Ketrampilan-keterampilan yang saya gambarkan di atas termasuk keterampilan yang transferable. Maksudnya, bisa digunakan di situasi yang baru. Ketrampilan ini bisa menjadi nilai tambah di kurikulum vitae dan bisa dipakai untuk melamar pekerjaan yang lebih menghasilkan. Jangan dilihat status pekerjaannya yang mungkin hanya sebagai pelayan, tapi lihatlah keterampilan yang dimiliki. Sebagai seorang dengan status dokter misalnya, kalau tidak mampu berkomunikasi, mengatasi ancaman di tempat kerja atau memanajemen waktu, tidak banyak kesuksesan yang bisa kita lihat. Ketrampilan ini tidak selalu diperoleh begitu saja selama kuliah. Perlu dicatat sekali lagi, keterampilan itu hanya diperoleh jika tekun belajar.

Akhir cerita, saya tidak memaksa atau menganjurkan teman-teman yang sedang kuliah untuk juga bekerja. Ini keputusan pribadi. Masih-masing mempunyai pertimbangan. Pertimbangan berdasarkan kebutuhan. Saya hanya tidak begitu setuju dengan pendapat bahwa bekerja dapat mengganggu kuliah. Memang sih dapat menganggu kuliah dan juga capek, jika tidak pandai mengatur semuanya. Tidak bekerja pun selama kuliah belum tentu menjanjikan hasil yang prima. So, it depends how tough you are.