20 September 2012

Belajar dan Bekerja


Ini tulisan versi saya, karena saya tahu di sana-sana pasti banyak yang menulis tentang belajar dan bekerja. Saya sudah bertahun-tahun kuliah dan juga bekerja. Pada masa kuliah S1 dulu, saya bekerja sebagai tutor atau guru les. Murid saya hanya beberapa (6 atau 7 anak, lupa) tapi saya mengajar mereka sampai tahunan. Selain itu saya pernah bekerja di laboratorium komputer dan jualan kebaya. Jualan kebaya dari teman ke teman, semacam bisnis pribadi. Saya sendiri bos sekaligus salesnya. Mungkin tidak banyak yang percaya saya pernah menjadi sales :)
copas photo by googling

Pada masa S2, saya pernah bekerja sebagai customer service atau pelayan. Jangan dibayangkan pekerjaan ini cuma duduk di belakang konter untuk menerima konsumen, tapi juga ngurus order, stocktake, menerima komplen dan bersih-bersih workshop. Selain itu pernah menjadi team member di supermarket yang kerjaannya ngurusi display barang-barang jualannya. Pernah juga kerja jadi tutor, pencatat perkuliahan dan tukang foto kopi di kampus. Sewaktu S3 saya pernah bekerja sebagai pelayan toko cepat saji kemudian naik jabatan menjadi supervisor, barista (penyaji kopi), tutor, pengawas ujian di kampus, tukang administrasi dan juga konsultan membuat soal-soal matematika untuk international competition.

Dari sebanyak pekerjaan yang saya jalani, saya masih menerima predikat cum-laude ketika menyelesaikan S1, sekolah S2 dan S3 di luar negeri dengan beasiswa dan alhamdulillah semuanya dengan hasil yang memuaskan, termasuk selesai on-schedule dan publikasi. Yah, gak jelek-jelek amat kan :)

Mempunyai pekerjaan selagi masa kuliah tidaklah berita baru. Saya tidak menyebut berkerja selagi kuliah adalah pekerjaan sampingan, karena jika menjalani keduanya sebaiknya serius supaya hasilnya optimal. Sebutan sampingan memang kedengaran agak menyepelekan status, bagi saya. Jika pekerjaannya tidak fulltime (8 jam sehari, 5 hari seminggu) saya lebih cenderung menyebutnya pekerjaan paruh waktu atau parttime.

Bekerja memberikan beberapa manfaat. Yang jelas tentu saja manfaatnya adalah memberikan pendapatan berupa uang. Uang bisa untuk apa saja seperti membeli buku kuliah, melengkapi sumber belajar, rekreasi, donasi atau tabungan. Tambahan pendapatan ini dapat secara langsung bermanfaat untuk kemajuan kuliah dan tentu saja kenikmatan tersendiri ketika bisa merasa financially free selama berbelanja.

Selain itu, dengan bekerja kita bisa mengembangkan banyak keterampilan. Jenis keterampilannya tentu saja sesuai tempat kerja dan sejauh mana kita serius memanfaatkan waktu bekerja untuk mengasah keterampilan. Selama saya bekerja, saya mengamati ada beberapa teman kerja yang berkerja sekedar mendapatkan uang. Pokoknya sudah menghabiskan waktu untuk kerja dan kerja sekedarnya. Kalau saya employer, saya tidak puas dan tidak suka dengan pekerja yang seperti ini. Dan menurut saya, percuma membuang waktu capek-capek hanya untuk uang.

Padahal jika kita bekerja dengan tekun, selain bos senang, kita secara tidak langsung mengasah keterampilan. Contohnya, bekerja sebagai pelayan di restaurant cepat saji. Sebagai pelayan resto di luar negeri, secara gratis kita mengasah kemampuan komunikasi dalam bahasa inggris dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya dalam konteks nyata. Sebagai pelayan, kita diminta untuk membuat konsumen merasa nyaman sekaligus up-sell sebanyak-banyaknya. Selama melakukan ini, kita bisa berlatih berbicara efektif dan memikat. Bisa juga melatih kesabaran dan berbicara logis, ketika ada konsumen sekonyong-konyong marah-marah dan komplain. Keterampilan mengorganisasikan produk, penjualan dan mempertahankan/meningkatkan profit juga bermanfaat. Ada juga ilmu mengenai makanan cepat saji (Food Handling and Safety), barista (seni menyajikan kopi), dan keselamatan di tempat kerja (Occupational and Health Safety) yang bisa diperoleh.

Namun, di tempat kerja juga bisa memberikan stress tersendiri. Kadang ada tekanan, kritik atau perubahan-perubahan di tempat kerja yang perlu kita adaptasi. Bisa juga terjadi harassment, bullying, dsb di tempat kerja yang bisa mempengaruhi mood setelah bekarja, yang secara langsung atau tidak mempengaruhi kuliah atau keluarga. Bagi saya, ini adalah latihan memanajemen stress. Dalam hidup saya, down side selalu ada dan hanya bisa diatasi. Hanya ada beberapa yang bisa dihindari. Saya mencoba menghindarinya, tapi kadang kita harus bersinggungan dengan orang-orang yang tidak bisa kita kontrol dan membuat hal-hal negatif. Mau tidak mau, keterampilan memahami dan mengatasinya yang perlu diasah. Perlu tahu prosedurnya jika harassment terjadi, perlu memahami diri sendiri bagaimana mengatasi mood yang terlalu (terlalu senang/sedih). Perlu juga memahami bagaimana menikmati masa-masa sedih. Saya yakin, tidak semua orang selalu happy dan selamanya happy. Tentu saja tidak mudah. Tapi kalau bisa melakukannya, ini adalah nilai lebih.

Ada satu lagi, yaitu kemampuan mengatur waktu, termasuk mengatur waktu tidur dan liburan. Selama bekerja dan juga kuliah, waktu tidur dan liburan menjadi terbatas. Padahal kita semua wajib untuk tidur dan liburan untuk memenuhi kesejahteraan biologis. Memaksimalkan yang terbatas perlu latihan tentunya, perlu ilmu. Ilmu itu bisa dipelajari.

Ketrampilan-keterampilan yang saya gambarkan di atas termasuk keterampilan yang transferable. Maksudnya, bisa digunakan di situasi yang baru. Ketrampilan ini bisa menjadi nilai tambah di kurikulum vitae dan bisa dipakai untuk melamar pekerjaan yang lebih menghasilkan. Jangan dilihat status pekerjaannya yang mungkin hanya sebagai pelayan, tapi lihatlah keterampilan yang dimiliki. Sebagai seorang dengan status dokter misalnya, kalau tidak mampu berkomunikasi, mengatasi ancaman di tempat kerja atau memanajemen waktu, tidak banyak kesuksesan yang bisa kita lihat. Ketrampilan ini tidak selalu diperoleh begitu saja selama kuliah. Perlu dicatat sekali lagi, keterampilan itu hanya diperoleh jika tekun belajar.

Akhir cerita, saya tidak memaksa atau menganjurkan teman-teman yang sedang kuliah untuk juga bekerja. Ini keputusan pribadi. Masih-masing mempunyai pertimbangan. Pertimbangan berdasarkan kebutuhan. Saya hanya tidak begitu setuju dengan pendapat bahwa bekerja dapat mengganggu kuliah. Memang sih dapat menganggu kuliah dan juga capek, jika tidak pandai mengatur semuanya. Tidak bekerja pun selama kuliah belum tentu menjanjikan hasil yang prima. So, it depends how tough you are.

19 September 2012

Ahnaf Membaca (umur 5 tahun)

Membaca bersama anak buat saya adalah kegiatan yang menyenangkan. Yang ga enak itu kalo pas capek banget tapi dia milih buku yang tebal dan ngeyel, persist, maunya baca buku itu. Suka dukanya selalu ada dan di situlah seninya.

Beberapa minggu yang lalu, Ahnaf membaca buku "Here is a carrot".


Ternyata sudah 2 tahun lamanya baru sempat menulis lagi tentang Ahnaf membaca. Perkembangannya sudah lumayan. Alhamdulillah.

Pertanyaan Anak

Dulu saya pernah membaca bahwa anak usia dini umumnya suka bertanya banyak hal. Waktu itu saya langsung percaya selain mudah dipahami bahwa anak sudah biasa selalu ingin tahu ini dan itu. Setelah saya punya anak sendiri, saya lebih percaya bahwa benar adanya keingintahuan anak memang luar biasa. Saya sering mendapatkan pertanyaan serius seperti, mengapa ada matahari, mengapa kita punya tulang, ada apa di dalam rambut, apa isi kepala, mengapa kita berfikir pakai otak, mengapa gajah hidungnya panjang sampai yang mengarah ke perbedaan jenis kelamin, kenapa mama punya nenen dan papa tidak... dan seterusnya tidak pernah habis.

Namun demikian saya senang mendengar dan meladeninya. Salah satu strategi yang saya gunakan ketika tidak tahu jawabannya adalah mengajak dia membaca buku untuk mencari tahu banyak hal, membuka kamus dijital untuk mencari apakah ada arti kata yang dia sebutkan atau mendengarkan bagaimana melafalkan kata yang benar, membuka google untuk mencari gambar-gambar atau sekedar bilang bahwa memang seperti itulah Allah mendesain pohon, hewan, dan sebagainya. Atau jika dia bertanya, mengapa mobil ini seperti ini tapi mobil itu seperti itu, saya jawab desainernya yang menentukan bentuk mobil, jika kamu mau, kamu bisa mendesain mobil sesuka kamu. Atau sekedar menjawab, mama pikir-pikir dulu, mengapa seperti itu ya... menurut kamu mengapa?

Dari melihat perkembangan anak, saya semakin ingin berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini. Ternyata sangat penting orang tua menyiapkan lingkungan yang mendukung kemampuan berfikir dan mengapresiasi segala sesuatu. Sifat keingintahuan anak bisa menjadi pertanda baik perkembangan anak, sehingga perlu difasilitasi. Jawaban pertanyaannya memang tidak selalu mudah, tapi bukannya tidak mungkin dijawab. Seandainya tidak bisaberkontribusi secara luas, paling tidak saya akan mengusahakan yang terbaik untuk anak-anak sendiri. Semoga ibu-ibu yang lain juga mendapatkan kemudahan untuk melakukannya. :-)

18 September 2012

Menjadi Cantik


Cincin yang sekarang saya pake mempunyai sejarah. Sebuah cinta yang tak terungkapkan namun selalu saya kenang.

Awal bulan ke-empat menjadi CPNS, saya menerima rapelan gaji yang jumlahnya menjadi cukup lumayan karena akumulasi 4 bulan gaji. Yang lebih berkesan, ini adalah gaji pertama saya, hard cold cash :). Berhari-hari saya memikirkan apa yang mau saya lakukan dengan uang itu. 

Akhirnya saya membeli handphone untuk Bapak (HP pertamanya, meskipun saya hanya sanggup beli secondand, merk Erics**, lipatan dengan antenna nongol). HP Bapak yang saya belikan  pertama  ini sudah dijual dan sampai sekarang dia sudah berganti HP 2x yang juga pemberian saya. Salah satunya HP pemberian seseorang untuk berterima kasih karena anaknya saya bantu. Sementara waktu itu saya masih senang dengan HP saya sendiri, jadi tidak saya tolak tapi saya berikan kepada Bapak :).

Saya juga membeli satu set perhiasan untuk Ibu. Katakan saja satu set meskipun hanya cincin dan tindik yang semodel serta gelang bangel yang berbeda model. Tadinya cincin ini bermata mutiara. Mutiara asli yang saya masih ingat betul, mbaknya yang jualan meyakinkan saya dengan membakarnya dan mutiara itu tidak hangus :).

Saya tahu pasti, Ibu senang memakai perhiasan. Ibu senang menerimanya meskipun memaksa saya sendiri yang memakai perhiasan itu. Waktu itu, saya tidak senang memakai ah cincin gelang atau tindik. Polos :D karena tidak juga ber-make-up. Saya menolak halus akhirnya beliau memakainya. Saya hanya bilang kalau saya pengen suatu saat nanti, jika pengen memakai cincin, saya pengen cincin yang bermata merah.

Selang beberapa waktu, mutiara di cincin itu hilang. Lepas entah di mana. Kami menyebutnya cincin mutiara yang hilang sambil bercanda. Saya tidak pernah tahu kapan Ibu mereparasi cincin itu, hanya tiba-tiba saya melihat di jari Ibu, cincin itu bermata merah. Saya membiarkan saja toh itu milik beliau.

Cincin inilah yang ada di foto itu. Saya sekarang memakai cincin itu. Ibu saya tahu bahwa karena saya tidak suka perhiasan, saya tidak akan membeli perhiasan, meskipun saya mampu. Sesungguhnya tidak pernah sebersitpun mengharapkan perhiasan ini kembali, saya membeli semuanya hanya untuk Ibu. Saya tidak memberikan Ibu dan Bapak saya gaji pertama saya dalam bentuk uang karena saya tahu, uang akan habis dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Dan mungkin Ibu tidak akan memakai perhiasan atau Bapak tidak akan punya HP seperti yang mereka inginkan waktu itu. 

Saya sekarang memakai cincin seperti saya impikan dulu, dan Ibu yang menyiapkannya untuk saya. Bapak mengembalikan semua perhiasan itu kepada saya setelah Ibu pergi. Bapak cerita kalau perhiasan itu sudah keluar masuk pegadaian untuk menambal sulam kebutuhan hidup. Katanya, sudah cukup saya membantu orang tua dan sudah saatnya memperhatikan diri saya sendiri. Seperti kata Ibu dulu, saya harus memperhatikan diri saya supaya selalu cantik. Dan perhiasan di mata beliau adalah cantik. Makanya, jangan heran jika saya sekarang sering memakai perhiasan karena saya ingin selalu mengenang Ibu di setiap detik. Ada lagi peninggalan Ibu yang special buat saya, bukan tanah yang luas atau warisan yang banyak. Benda ini dititipkan adik saya untuk diberikan ke saya, yaitu make-up. Iya, bedak, lipstick, krim wajah., dkk Bukan bendanya yang saya lihat, tapi pesan di balik benda itu.

06 September 2012

How is school, Ahnaf?


Sudah menjadi kebiasaan, setiap kali menjemput anak saya dari sekolah, saya langsung merangkulnya sembari bertanya: “How are you Ahnaf? How is school?” Biasanya dia langsung menjawab singkat: “Good”, dan terus saya selalu menimpali dengan pertanyaan: “Good? What’s make it good? Tell me why it is good?”

Tergantung mood dia, kadang dia sekedar menjawab sekenanya seperti “Yeah it’s good mum”. Jika begini, saya tidak menambah dia dengan pertanyaan lainnya lagi. Tentu dia, seperti saya yang kerja full-time dari 9 pagi – 5 sore, ingin segera sampai rumah untuk makan malam dan istirahat.

Kemarin, perbincangan kami cukup berbeda dan sangat berkesan buat saya. Anak yang baru saja berulangtahun ke-5 bulan Juni lalu ini menjawab dengan ringan pertanyaan saya tadi seperti ini: “It’s good mummy, because I was helpful, I did not shout, I did not yell and I did not hurt anybody”. Saya terkesan.

Beberapa dari kita mungkin menganggap bahwa yang masuk kategori “baik” di sekolah adalah mereka yang PRnya betul semua, dapat nilai bagus di ulangan, menjadi juara kelas, juara ini dan itu. Saya sendiri kadang masih seperti itu, bahwa hebat itu jikalau menjadi juara. Mungkin karena saya dibesarkan dalam lingkungan yang menomorsatukan “nomor satu”. 

Kepada anak saya, dalam hati kadang saya masih berharap dia menjadi terhebat di kelasnya dengan menjadi yang nomor satu. Meskipun secara kenyataannya saya tidak mau menerapkan hal seperti ini. Saya tidak mau membesarkan anak saya seperti saya dulu dibesarkan. Saya dulu memang selalu juara kelas dan memang saya mendapat banyak kesempatan baik setelah itu. Namun setelah bertemu dengan banyak orang, bicara dan merenung dengan teman, saya menjadi tahu bahwa menjadi juara bukanlah segalanya. Bahkan, saya merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri saya, yang tidak saya dapatkan ketika masa tumbuh kembang dulu –gara-gara hanya mau jadi juara itu. Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar kepiawaian mengerjakan soal matematika atau kefasihan dalam membaca, yang saya tahu, saya dulu tumbuh tanpa belajar tentang itu.

Beruntunglah anak saya mendapatkan kesempatan baik untuk belajar menjadi dirinya sendiri. Belajar bahwa keberadaannya yang bermanfaat untuk lingkungannya lah yang lebih penting, dari pada sekedar bisa berhitung dan membaca. Tentu saja berhitung dan membaca penting untuk dipelajari dan bisa dipelajari (atau dilupakan) kapan saja. Namun, belajar karakter yang memanusiakan diri sendiri dan lingkungan sebaiknya sejak dini. Karena mempelajarinya tidak mudah dan sulit untuk merubahnya (atau melupakannya). Karakter akan terpatri dalam jiwa anak hingga dia dewasa nanti. 

Jawaban dia kemarin bahwa yang baik di sekolah adalah yang selalu membantu dan tidak menganggu orang lain membuat saya optimis bahwa saya bisa mendampingi tumbuh kembangnya menjadi yang dia mau. Lebih penting lagi, bahwa dia akan belajar menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungannya sejak sekarang sampai nanti, tidak hanya sekedar belajar membaca, menulis dan berhitung.