Sambil minta kelon, Firna curhat kepada suaminya. Dia
melepaskan keluh kesah, capek dan stress yang dirasakannya. Firna berkata, “say,
seandainya aku bisa seperti Dea. Hidupnya enak ya... Tiap hari cuma ngantar
anak sekolah, itu pun kadang suaminya yang ngantar. Terus masak, bentar-bentar
ngurus taman, main game online, facebookan, instagraman, nge-date, jalan-jalan
ke sini ke sana. Terus sama ibu-ibu ngumpul bikin kue bareng, jogging, latihan
make-up, pengajian atau duduk-duduk di cafe. Ga perlu mikirin kerjaan, ga punya
deadline yang bikin stress, ga ngurusi orang-orang yang bikin sebel di kerjaan,
ga perlu jalan buru-buru ke sini, ke sana. Ga perlu pulang kerja ga bisa langsung istirahat. Bisa spa, medicure pedicure setiap saat... Enak ya....” Kemudian Firna menghela
nafas dalam. Memang, dalam pandangan Firna, Dea adalah sosok yang bisa
menikmati hidup dengan nikmatnya nikmat.
Dengan santai, suami Firna menjawab, “bener say, kamu mau
berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga saja? Cuma di rumah tok seperti Dea?
Tidak peduli tentang isu-isu di negara kita? Ga pengen lagi penelitian? Ga
pengen lagi membuat teori? Ga pengen lagi jadi guru? Ga pengen lagi ngajar? Ga
pengen lagi punya uang tabungan sendiri? Ga pengen lagi jadi barista? Ga
pengen punya tabungan sendiri? Ga pengen lagi bisa ngasih uang ke orang tua dan
menyumbang ke panti? Ga pengen lagi bebas belanja? Ya gapapa sih, terus kamu mau ngapain di rumah?” Anehnya,
Firna tidak bisa langsung menjawab pertanyaan suaminya. Dalam hati, justru dia
cenderung menjawab tidak atau tidak tahu. Meskipun protes, Firna tidak mau
begitu saja melepaskan aktivitas yang telah dia jalani selama ini. Malahan, Firna
berbalik mengatakan bahwa meskipun ibu rumah tangga dan berkarir yang
melelahkan, namun banyak juga kok hal positif yang bisa dia hasilkan. Satu per
satu Firna menyebutkannya. Suaminya tersenyum geli.
Di lain rumah, Dea sedang protes kepada suaminya. Katanya
dia bosen dan stress di rumah. Aktivitas yang dia jalani seperti palsu dan
tidak penting. Cuma ngafe, pengajian, nge-gym, masak bareng, facebookan, dan
gak penting lainnya. Dia pengen punya karir seperti Firna. Lanjut lagi, dia
menjelaskan ke suaminya bahwa dia mempunyai aspirasi untuk berkontribusi ke
kemajuan bangsa... tidak sekedar sebagai orang penting di keluarganya saja. Dea
memberi contoh Firna kepada suaminya. Memang, dalam pandangan Dea adalah wanita
yang sempurna. Mempunyai karir, bisa mengasuh keluarga dan disayang suami dan
keluarga. Dea mengatakan betapa hebatnya Firna dan menghela nafas dalam mengakhiri protesnya.
Dengan santai, suami Dea menjawab, “Benar kamu
mau mencari pekerjaan? Kamu sudah siap, pagi jam 7 sudah siap, sore jam 6 baru
sampai rumah, mesti lari ke sini ke sana ngantar jemput anak sekolah? masih
ngurusi masak dan keperluan rumah? Kamu mungkin ga punya waktu lagi untuk nge-gym
3x seminggu? Mungkin jarang-jarang bisa liburan? Masih ingat dulu betapa
stressnya kamu ngurusi kantor dengan segala isunya? Sudah siap? Ya gapapa kalau
kamu mau menanggung semua konsekuensi karir, menjadi ibu dan istri". Anehnya, Dea
tidak bisa langsung menjawab pertanyaan suaminya. Dalam hati, justru dia
cenderung menjawab tidak atau tidak tahu. Meskipun protes, Dea tidak mau begitu
saja melepaskan aktivitas yang telah dia jalani selama ini. Malahan, Dea
berbalik mengatakan bahwa meskipun ibu rumah tangga dan aktivitasnya serasa ga
penting, namun banyak juga kok hal positif yang bisa dia kerjakan. Satu per
satu Dea menyebutkannya. Suaminya pun tersenyum geli.