Perbincangan sebelum tidur dengan suami memang sesuatu
banget. Kadang kita berbicara hal yang sudah dibicarakan lagi dan lagi,
kadang-kadang kita berbicara yang kita sendiri pun tidak tahu banyak. Beberapa
malam lalu kita berbicara tentang nasionalisme. Perbincangan mengenai
nasionalisme bukanlah hal yang baru. Tapi perbincangan malam itu berbeda dan
berakhir dengan perasaan saya yang gamang.
Mulanya kita berdiskusi ringan tentang pembicaraan Gubernur
Jakarta dan wakilnya di media-media masa. Suami saya terus terang meragukan
kemampuan mereka merubah Jakarta. Dia mengacungi jempol program kartu sehat dan
kartu pintar mereka –yang seharusnya adalah program nasional. Namun apakah
benar apa yang mereka lakukan tulus untuk negara, bukan untuk anak, cucu,
keponakan dan kepentingannya nanti setelah mereka tidak menjabat lagi. Lihat
saja nanti.
Di negara ini masih ada budaya malu, malu jika bapaknya
pejabat, anaknya cuma jualan roti di toko; malu jika pakdenya kaya,
keponakannya tidak masuk sekolah unggulan, malu jika turun status sosialnya. Lihat
saja presiden, pemimpin parpol, anggota DPR dan yang kecil-kecil di kampus,
kantor-kantor pemerintahan. Saya diingatkan, berapa kali saya didatangi
kerabat, temannya kerabat atau tetangga yang mau nitip anaknya. Tidak
jauh-jauh, keluarga kita menyaksikan sendiri bagaimana proses pencalonan
bupati. Berapa uang yang diinvestasikan. Bagaimana usaha yang dilakukan untuk
mengambil keuntungan dari jabatan itu, meskipun secara halus. Bagaimana mereka
yang merasa kenal berusaha menitipkan anaknya, keponakannya, sodaranya...
seperti ini terjadi di daerah sampai di pusat. *menelan ludah*
Mulai dari lingkungan keluarga, bagaimana budaya orang tua
sekarang ini dalam membesarkan anaknya. Lihatlah bagaimana sistem pendidikan
dibuat berkasta, secara tidak langsung mengajarkan anak perbedaan status sosial.
Bagaimana tidak orang-orang kita mementingkan materi dan penampakan sosial? Lihatlah
gaya orang-orang di facebook. Hak milik saya dalah hak milik saya, tidak ada
gunanya berkorban untuk negara –atau yang ada pemimpin negara mengorbankan
rakyatnya. Kemudian, suami saya pun terus terang meragukan perubahan Indonesia
secara lebih luas. Indonesia tidak lagi milik nasional. Terlalu banyak
kepentingan internasional yang membuat Indonesia tidak bisa berbuat sekehendak
hatinya sendiri. Meskipun hati ini ingin berbuat kebaikan untuk bangsa, tapi
tangan dan kaki sudah tidak bisa digerakkan sesuai hati. Kenapa? Karena tangan
dan kaki itu sudah dimiliki orang lain.
Jika ada yang berteriak-teriak nasionalisme, ah… coba beri
dia jabatan, nanti dia diam. Lanjutnya, apa yang terjadi di Aceh setelah
gubernurnya dari GAM? Kaum intelektual, ah… apalagi. Lihatlah Andi Malarangeng.
Orang-orang pintar kita... Lihatlah kualitas para penerima beasiswa dikti.
Diragukan… Semuanya mementingkan dirinya sendiri. Tidak ada yang namanya
nasionalisme. Saya memang hanya bisa melihat dan diam. Tidak ikut pemilu, tidak
juga ikut demo. Bukan berarti saya tidak merasa sedih ketika Timor Timur lepas
dari NKRI atau jika Papua ingin melepaskan diri, begitu katanya dengan nada
rendah seperti mengakhiri curahan pemikirannya.
Panjang lebar dia berbicara. Sementara saya tetap optimis
meskipun agak tersinggung juga karena saya juga penerima beasiswa dikti yang
dia sebutkan. Perubahan tentu saja tidak seketika menghasilkan, perlu waktu.
Dari lingkup yang terdekat ke lingkup yang lebih luas. Itu pun dimulai dari
diri sendiri. Berbuat kebaikan dari diri sendiri, dari lingkungan pekerjaan.
Dia membenarkan apa yang saya katakan. Memang hanya itu yang saat ini bisa
dilakukan di negara kita, berusaha berbuat baik dan beribadah. Tidak ada lagi
yang bisa menyelamatkan hidup di negara kita selain beribadah, agar tidak
stress, tertekan dengan keadaan di sekitar hidup. Saya ingin protes bahwa tidak
benar begitu. Okelah, ada benarnya, tapi tidak semuanya… tapi, tapi saya tidak
bisa lagi berkata-kata.