Kemarin, saya menghadiri sebuah acara pameran pertukaran
pelajar yang diselenggarakan oleh UNSW. Di sana hadir berbagai rekanan UNSW
yang menyediakan program bagi mahasiswa UNSW untuk belajar di luar negeri
(baca: di luar Australia). Salah satu rekanan adalah ACICIS, yang menyediakan
program belajar singkat di Indonesia. Secara khusus UNSW juga bekerja sama
dengan UI dan ITB, untuk program pertukaran mahasiswa. Namun, hanya ada ACICIS
di pameran kemarin.
Di sini saya bukan mau cerita apa itu ACICIS, tapi mereka
yang terlibat dalam ACICIS. Beberapa di antaranya adalah yang saya temui di
pameran kemarin, Annika dan Ashleigh (Semoga ga salah ketik, baca: aslie). Annika
dan Ashleigh adalah alumni ACICIS. Annika pernah belajar dan tinggal di Jogja
dan juga Malang selama satu tahun. Not to mention how many times she has visited
Bali. Ashleigh tinggal lebih lama (sepuluhan tahun) di Jakarta karena orang
tuanya bekerja di Jakarta. Dua wanita cantik ini dengan jiwa nasionalisme yang
tinggi menawarkan Indonesia kepada para mahasiswa. Jiwa nasionalisme yang saya maksud ini adalah
nasionalisme kepada ibu pertiwi saya, Indonesia. Saya sangat terharu dengan
cara mereka mempromosikan Indonesia.
Kepada siapa saja yang mampir ke meja ACICIS, mereka
mengatakan “you must go to Indonesia, it is a beautiful country with a great neighbourhood.
The people are so nice, friendly and helpful”. Salah satunya mereka juga
mengatakan “I am so passionate about Indonesia, there are so many good things
you can do in the country, while you are studying”. Mereka juga menceritakan
kisah pertama kali mendengar suara azan subuh, yang sangat asing buat mereka. Pertama
kali mereka menduga itu adalah orang gila yang mengganggu tetangga di pagi
hari. Termasuk juga mendengarkan pengumuman untuk warga sekampung yang
diperdengarkan lewat loud speaker di masjid-masjid. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan
di negaranya menjadi hal yang unik namun berkesan baik. Berkesan baik secara mereka bisa memahami
maksud dan tujuan dari penggunaan loud speaker tersebut.
Tentu saja mereka mendapatkan pertanyaan mengenai terorisme
dan khususnya pengeboman di Bali. Dengan cantiknya mereka menjelaskan bahwa hal
yang sama bisa terjadi di mana saja. Bahkan Annika dan Ashleigh merasa malu
karena orang-orang sebangsanya (baca: sesame Aussie) membawa citra buruk negara
Australianya, karena banyak mereka yang mabuk dan tidak bersopan-santun sewaktu
berwisata di Bali dan sekitarnya.
Salah seorang peserta pameran dari sebuah institusi di
Kanada mendekati meja ACICIS di waktu kami tidak ada pengunjung. Beliau
memberikan pertanyaan yang umum mengenai ACICIS dan Indonesia. Sekali lagi
dengan semangat Annika dan Ashleigh menjelaskan pentingnya mengenal lebih dekat
tetangga sebelah, yang jumlah penduduknya sekitar 250juta dengan mayoritas
muslim. Selain Social Development, ACICIS memang mempunyai sebuah program studi
tentang Islam.
Sementara itu, di persilangan jalan Kingsford, saya
sering bertemu dengan saudara-saudari saya berdarah Indonesia dengan celoteh
yang berbeda tentang Indonesia. Yah, berbeda dan cenderung melihat sisi
negatifnya. Bahkan terkesan mengatakan bahwa Indonesia bukanlah tempat yang
layak untuk hidup. Jujur saja, saya risih dengan yang mereka katakan tapi juga
tidak menyalahkannya.
Namun demikian, pelajaran yang saya peroleh di pameran itu mengingatkan bahwa hidup di mana saja bisa jadi sama, entah di atas tumpukan emas atau jerami. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya, menyikapinya dan menikmatinya. Annika dan Ashleigh termasuk yang sudah nyaman hidup di Australia dengan segala keberaturannya. Mereka pun berkeinginan hidup dan mengabdi di Indonesia. Sebagai catatan, Annika adalah calon guru bahasa Indonesia. Hal ini benar-benar pelajaran buat saya, bahwa mau hidup di mana bukan masalah tempatnya, tapi masalah apa yang mau atau bisa kita lalukan di sana. Dan bisa melakukan yang kita inginkan, adalah hidup itu sendiri.
Namun demikian, pelajaran yang saya peroleh di pameran itu mengingatkan bahwa hidup di mana saja bisa jadi sama, entah di atas tumpukan emas atau jerami. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya, menyikapinya dan menikmatinya. Annika dan Ashleigh termasuk yang sudah nyaman hidup di Australia dengan segala keberaturannya. Mereka pun berkeinginan hidup dan mengabdi di Indonesia. Sebagai catatan, Annika adalah calon guru bahasa Indonesia. Hal ini benar-benar pelajaran buat saya, bahwa mau hidup di mana bukan masalah tempatnya, tapi masalah apa yang mau atau bisa kita lalukan di sana. Dan bisa melakukan yang kita inginkan, adalah hidup itu sendiri.