Sudah menjadi kebiasaan, setiap kali menjemput anak saya
dari sekolah, saya langsung merangkulnya sembari bertanya: “How are you Ahnaf?
How is school?” Biasanya dia langsung menjawab singkat: “Good”, dan terus saya
selalu menimpali dengan pertanyaan: “Good? What’s make it good? Tell me why it
is good?”
Tergantung mood dia, kadang dia sekedar menjawab sekenanya
seperti “Yeah it’s good mum”. Jika begini, saya tidak menambah dia dengan
pertanyaan lainnya lagi. Tentu dia, seperti saya yang kerja full-time dari 9
pagi – 5 sore, ingin segera sampai rumah untuk makan malam dan istirahat.
Kemarin, perbincangan kami cukup berbeda dan sangat berkesan
buat saya. Anak yang baru saja berulangtahun ke-5 bulan Juni lalu ini menjawab
dengan ringan pertanyaan saya tadi seperti ini: “It’s good mummy, because I was
helpful, I did not shout, I did not yell and I did not hurt anybody”. Saya
terkesan.
Beberapa dari kita mungkin menganggap bahwa yang masuk
kategori “baik” di sekolah adalah mereka yang PRnya betul semua, dapat nilai
bagus di ulangan, menjadi juara kelas, juara ini dan itu. Saya sendiri kadang
masih seperti itu, bahwa hebat itu jikalau menjadi juara. Mungkin karena saya
dibesarkan dalam lingkungan yang menomorsatukan “nomor satu”.
Kepada anak saya, dalam hati kadang saya masih berharap dia
menjadi terhebat di kelasnya dengan menjadi yang nomor satu. Meskipun secara
kenyataannya saya tidak mau menerapkan hal seperti ini. Saya tidak mau
membesarkan anak saya seperti saya dulu dibesarkan. Saya dulu memang selalu juara
kelas dan memang saya mendapat banyak kesempatan baik setelah itu. Namun
setelah bertemu dengan banyak orang, bicara dan merenung dengan teman, saya
menjadi tahu bahwa menjadi juara bukanlah segalanya. Bahkan, saya merasa ada
sesuatu yang hilang dalam diri saya, yang tidak saya dapatkan ketika masa
tumbuh kembang dulu –gara-gara hanya mau jadi juara itu. Ada sesuatu yang lebih
penting dari sekedar kepiawaian mengerjakan soal matematika atau kefasihan
dalam membaca, yang saya tahu, saya dulu tumbuh tanpa belajar tentang itu.
Beruntunglah anak saya mendapatkan kesempatan
baik untuk belajar menjadi dirinya sendiri. Belajar bahwa keberadaannya yang
bermanfaat untuk lingkungannya lah yang lebih penting, dari pada sekedar bisa
berhitung dan membaca. Tentu saja berhitung dan membaca penting untuk
dipelajari dan bisa dipelajari (atau dilupakan) kapan saja. Namun, belajar
karakter yang memanusiakan diri sendiri dan lingkungan sebaiknya sejak dini.
Karena mempelajarinya tidak mudah dan sulit untuk merubahnya (atau
melupakannya). Karakter akan terpatri dalam jiwa anak hingga dia dewasa nanti.
Jawaban dia kemarin bahwa yang baik di sekolah adalah yang selalu membantu dan tidak menganggu orang lain membuat saya optimis bahwa saya bisa mendampingi tumbuh kembangnya menjadi yang dia mau. Lebih penting lagi, bahwa dia akan belajar menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungannya sejak sekarang sampai nanti, tidak hanya sekedar belajar membaca, menulis dan berhitung.
No comments:
Post a Comment